Dua Pasang Hati
A
A
A
Mereka tak saling berbicara, maupun beradu pandang, namun gadis itu nampaknya mengerti apa yang sedang terjadi. ”Nan.” Gadis itu memanggil namanya, tapi dia tak menanggapinya.
Hanya matanya saja yang melirik kepada gadis itu. Tak sepatah kata keluar dari bibir mungil gadis itu, melainkan salah satu telapak tangan gadis berambut panjang ikal itu, menyentuh pipi Keenan. Ia tak melawannya, justru merasa hangat dan nyaman luar biasa ketika wajahnya bersentuhan dengan jemari lentik perempuan itu. Keenan memandang mata perempuan itu, tanpa ekspresi. Berbeda dengannya, setitik air mata perlahan sudah mulai terjatuh menggenangi pipi perempuan itu.
Tangan Keenan seolah ingin menyeka air mata murni itu, batinnya sedikit pilu melihat tangisan perempuan itu, Tapi Keenan menahannya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak melakukannya. Perempuan yang belakangan terlihat cantik, bahkan di saat dia marahmarah pada Keenan itu, menarik tubuh Keenan ke pelukannya. Gadis itu membenamkan wajahnya di bahu kiri Keenan.
Tak sedikitpun Keenan membalas pelukan yang seharusnya diperuntukkan baginya-tangannya terlalu kaku untuk melakukannya. ”Bukan salah lo, Nan. Jadi jangan stres gitu, ya. Buat gue, elo dokter kandungan paling hebat yang gue kenal.” Setelah berkata begitu, gadis itu hendak melepaskan pelukannya, tetapi dengan cepat Keenan menahannya, sehingga ia tetap di pelukan cowok itu.
Kali ini, Keenanlah yang mendekap gadis itu kuatkuat, seolah pria itu ingin berbagi kesedihan dengannya. Sejujurnya, gadis itu sedikit terkejut dengan tingkah laku dokter tampan tersebut, biasanya dia paling nggak mau disentuh. Kecuali, beberapa waktu lalu ketika sebuah insiden menimpanya. Setelah beberapa menit tubuh mereka saling berhimpitan, barulah dokter itu merasa tenang.
Perempuan di sampingnya itu tersenyum tulus menatap wajah dokter itu yang terlihat sedikit membaik. ”Gue pulang dulu ya, Nan,” ucap cewek itu beranjak pergi dari hadapannya. Namun langkahnya tertahan, sesaat ia menyadari pria itu mulai menggenggam tangannya. Dokter kandungan itu pun segera bangkit dari tempat duduknya, lalu mengajaknya pergi dari sana.
”Nan, lo sebenernya mau ke mana sih?” tanya Lara, sesaat mereka berada di mobil Keenan. Tak ada sepatah kata yang sebelumnya keluar dari mulutnya, ia memilih diam, yang membuat Lara sejujurnya agak sedikit ketakutan. ”Pulanglah. Emangnya mau ke mana lagi?” ”Ya elah, bilang kek dari tadi kalo mau pulang. Dan, nggak usah marahmarah juga dong, Nan. Biasa aja gitu.”
”Nggak marah, kok.” Cowok itu menyahut dengan nada santai, Lara terkesiap dengan hal langka yang baru saja keluar dari pria itu. ”Eh, tunggu. Ini.. ini maksudnya, lo anter ke rumah gue?” ”Iya, terus mau ke mana lagi?” Lara terdiam sejenak, memandangi wajah cowok itu dari samping. Sudah lama sepertinya cowok itu tidak mencukur jenggotjenggot yang mulai terlihat lebat di rahang pipinya.
”Ngapain sih lo ngeliat gue kayak gitu?” protes cowok itu, menyadarinya. ”Lo keliatan tua banget, Nan. Hehehe,” gurau Lara, yang malah nggak ditanggapi oleh Keenan. ”Karena janggut gue maksud lo? Emang udah keliatan jelek banget ya?” Bukannya ngejawab, Lara malah tertawa- tawa menyaksikan Keenan yang memerhatikan wajahnya di cermin mobil. He looks cute though, suara hati Lara mulai meracuni pikirannya.
”Kok lo malah ketawa-tawa sih?” Alis cowok itu terangkat sebelah. ”Habis lo, keliatannya sok ganteng banget, liat-liat muka lo di cermin,” balas Lara masih terkikik. ”Siapa yang sok ganteng sih? Gue cuma nanya, emang nih janggut gue bikin gue keliatan tua banget ya?” Lara berdecak heran, seumur-umur ia mengenal Keenan, baru kali ini dia mendengar cowok itu peduli penampilan, udah sadar kali, kalo wajahnya dimakan usia.
”Sebenernya, Nan, bukan cuma janggut lo sih.” ”Terus apa lagi?” ”Muka dan jidat lo juga udah nimbulin kerutan-kerutan kecil di pinggirnya.” Lara semakin senang menjahili Keenan, sekali-kali kan, ngerjain dokter kandungan yang mukanya kayak guru Kimia jaman SMA-nya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Hanya matanya saja yang melirik kepada gadis itu. Tak sepatah kata keluar dari bibir mungil gadis itu, melainkan salah satu telapak tangan gadis berambut panjang ikal itu, menyentuh pipi Keenan. Ia tak melawannya, justru merasa hangat dan nyaman luar biasa ketika wajahnya bersentuhan dengan jemari lentik perempuan itu. Keenan memandang mata perempuan itu, tanpa ekspresi. Berbeda dengannya, setitik air mata perlahan sudah mulai terjatuh menggenangi pipi perempuan itu.
Tangan Keenan seolah ingin menyeka air mata murni itu, batinnya sedikit pilu melihat tangisan perempuan itu, Tapi Keenan menahannya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak melakukannya. Perempuan yang belakangan terlihat cantik, bahkan di saat dia marahmarah pada Keenan itu, menarik tubuh Keenan ke pelukannya. Gadis itu membenamkan wajahnya di bahu kiri Keenan.
Tak sedikitpun Keenan membalas pelukan yang seharusnya diperuntukkan baginya-tangannya terlalu kaku untuk melakukannya. ”Bukan salah lo, Nan. Jadi jangan stres gitu, ya. Buat gue, elo dokter kandungan paling hebat yang gue kenal.” Setelah berkata begitu, gadis itu hendak melepaskan pelukannya, tetapi dengan cepat Keenan menahannya, sehingga ia tetap di pelukan cowok itu.
Kali ini, Keenanlah yang mendekap gadis itu kuatkuat, seolah pria itu ingin berbagi kesedihan dengannya. Sejujurnya, gadis itu sedikit terkejut dengan tingkah laku dokter tampan tersebut, biasanya dia paling nggak mau disentuh. Kecuali, beberapa waktu lalu ketika sebuah insiden menimpanya. Setelah beberapa menit tubuh mereka saling berhimpitan, barulah dokter itu merasa tenang.
Perempuan di sampingnya itu tersenyum tulus menatap wajah dokter itu yang terlihat sedikit membaik. ”Gue pulang dulu ya, Nan,” ucap cewek itu beranjak pergi dari hadapannya. Namun langkahnya tertahan, sesaat ia menyadari pria itu mulai menggenggam tangannya. Dokter kandungan itu pun segera bangkit dari tempat duduknya, lalu mengajaknya pergi dari sana.
”Nan, lo sebenernya mau ke mana sih?” tanya Lara, sesaat mereka berada di mobil Keenan. Tak ada sepatah kata yang sebelumnya keluar dari mulutnya, ia memilih diam, yang membuat Lara sejujurnya agak sedikit ketakutan. ”Pulanglah. Emangnya mau ke mana lagi?” ”Ya elah, bilang kek dari tadi kalo mau pulang. Dan, nggak usah marahmarah juga dong, Nan. Biasa aja gitu.”
”Nggak marah, kok.” Cowok itu menyahut dengan nada santai, Lara terkesiap dengan hal langka yang baru saja keluar dari pria itu. ”Eh, tunggu. Ini.. ini maksudnya, lo anter ke rumah gue?” ”Iya, terus mau ke mana lagi?” Lara terdiam sejenak, memandangi wajah cowok itu dari samping. Sudah lama sepertinya cowok itu tidak mencukur jenggotjenggot yang mulai terlihat lebat di rahang pipinya.
”Ngapain sih lo ngeliat gue kayak gitu?” protes cowok itu, menyadarinya. ”Lo keliatan tua banget, Nan. Hehehe,” gurau Lara, yang malah nggak ditanggapi oleh Keenan. ”Karena janggut gue maksud lo? Emang udah keliatan jelek banget ya?” Bukannya ngejawab, Lara malah tertawa- tawa menyaksikan Keenan yang memerhatikan wajahnya di cermin mobil. He looks cute though, suara hati Lara mulai meracuni pikirannya.
”Kok lo malah ketawa-tawa sih?” Alis cowok itu terangkat sebelah. ”Habis lo, keliatannya sok ganteng banget, liat-liat muka lo di cermin,” balas Lara masih terkikik. ”Siapa yang sok ganteng sih? Gue cuma nanya, emang nih janggut gue bikin gue keliatan tua banget ya?” Lara berdecak heran, seumur-umur ia mengenal Keenan, baru kali ini dia mendengar cowok itu peduli penampilan, udah sadar kali, kalo wajahnya dimakan usia.
”Sebenernya, Nan, bukan cuma janggut lo sih.” ”Terus apa lagi?” ”Muka dan jidat lo juga udah nimbulin kerutan-kerutan kecil di pinggirnya.” Lara semakin senang menjahili Keenan, sekali-kali kan, ngerjain dokter kandungan yang mukanya kayak guru Kimia jaman SMA-nya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)